Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, istilah tauhid sudah sering kita dengar. Meskipun demikian, banyak orang yang masih rancu dalam memahami hakikat tauhid itu sendiri. Sebagian menganggap bahwa tauhid adalah dengan meyakini bahwa Allah itu satu, tidak berbilang. Itu sudah cukup menurut mereka. Sebagian lagi mengira, tauhid adalah mempercayai Allah pencipta alam dan penguasanya, dsb.
Dari situlah, penting kiranya bagi kita untuk mengerti pembagian tauhid sebagaimana telah diterangkan para ulama dalam kitab-kitab mereka. Secara umum, kita dapati para ulama membagi tauhid menjadi tiga bagian :
Pertama. Tauhid rububiyah; yaitu keyakinan bahwa Allah satu-satunya pencipta, penguasa, pemelihara, pengatur, dan pemberi rizki.
Kedua. Tauhid uluhiyah; yaitu keyakinan dan amalan berupa menujukan ibadah hanya kepada Allah, tidak kepada selain-Nya.
Ketiga. Tauhid asma’ wa shifat; yaitu keyakinan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah yang maha sempurna, yang tidak diserupai oleh makhluk-Nya.
Pembagian tauhid ini bukanlah bid’ah. Karena hakikat dari pembagian tauhid ini semata-mata membeberkan kenyataan yang ada di dalam pemahaman tauhid dan prakteknya di tengah umat manusia. Dimana kita jumpai manusia ada yang mengimani sebagian jenis tauhid di atas, dan tidak mengimani sebagian yang lainnya. Kemudian, berdasarkan hal ini muncullah hukum dan sikap kepada mereka.
Misalnya, kita ketahui bersama, bahwa orang-orang musyrikin telah mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan pengatur alam -yang dalam istilah ulama dinamakan sebagai tauhid rububiyah- maka marilah kita lihat sikap yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap mereka; apakah dengan modal keyakinan semacam itu mereka sudah disebut muslim?
Kemudian, contoh lainnya, ketika di masa Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, muncul orang-orang yang mengingkari takdir, padahal iman kepada takdir hakikatnya adalah bagian dari iman kepada rububiyah Allah dan sifat-sifat-Nya. Apakah dengan modal tauhid dalam beribadah -sementara mereka juga mengingkari takdir- tetap menjaga status mereka sebagai muslim, ataukah justru sebaliknya?
Masalah lainnya, ketika ada orang-orang yang melontarkan pemahaman al-Qur’an makhluk, walaupun secara umum mereka mengimani rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat Allah; apakah dengan modal keyakinan semacam itu cukup untuk memelihara predikat keislaman dan tauhid yang ada di dalam dirinya? Sedangkan kita telah mengetahui bersama bahwa para ulama menyatakan kafirnya keyakinan semacam ini, sebagaimana populer dari Imam Ahmad dan ulama sunnah lainnya.
Kenyataan-kenyataan itulah -di samping karena tuntutan dalil yang ada- yang mendorong para ulama untuk membeberkan lebih jelas kepada umat tentang bagian-bagian dari tauhid yang harus dipahami, yang itu tercermin dalam pembagian tauhid menjadi tiga; tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat.
Dengan memahami ketiga makna tauhid ini niscaya akan jelas bagi kita dimanakah letak penyimpangan pemahaman dan kekeliruan penafsiran yang banyak bertebaran di tengah masyarakat seputar makna islam, tauhid, dan iman.
Untuk lebih mudahnya, kita bisa mengambil contoh dari surat al-Fatihah. Di dalam surat al-Fatihah ini telah terkandung ketiga macam tauhid tersebut, sebagaimana hal itu diterangkan oleh Syaikh as-Sa’di rahimahullah di dalam tafsirnya.
Dari ayat ‘alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ misalnya. Di sini terkandung ajaran tauhid rububiyah, yaitu dari kata ‘rabb’. Karena dalam bahasa arab ‘rabb’ bermakna yang mentarbiyah, memelihara, dan mengatur. Ketika Allah disebut sebagai Rabb seluruh alam, maka ini menunjukkan keesaan Allah dalam hal rububiyah-Nya. Inilah yang kita kenal dengan istilah tauhid rububiyah.
Dari ayat ‘ar-Rahmanir Rahiim’ misalnya. Di sini terkandung tauhid asma’ wa shifat. Yaitu kita wajib mengimani Allah memiliki kedua nama itu dan Allah juga memiliki sifat rahmat/berkasih sayang. Inilah yang dinamakan dengan tauhid asma’ wa shifat.
Dari ayat ‘iyyaka na’budu’ misalnya. Di sini terkandung tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Karena di dalam kalimat ini kita mengakui bahwa hanya Allah tujuan ibadah kita, tidak kepada selain-Nya. Inilah hakikat dari tauhid uluhiyah.
Apabila hal ini telah jelas, maka dengan mudah kita bisa menjawab komentar sebagian orang yang menilai bahwa pembagian tauhid itu adalah bid’ah. Kita katakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an saja telah menunjukkan kandungan dari ketiga macam tauhid tersebut, lantas mengapa harus diingkari? Para ulama hanyalah mempermudah penjelasan dan menyederhanakan, mengapa kita justru menolaknya?
Kemudian, satu hal yang harus dipahami pula, bahwa diantara ketiga macam tauhid di atas, yang menjadi maksud utama dan pokok kandungan dari kalimat syahadat adalah tauhid uluhiyah, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh dalil al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Sebagaimana sudah kita singgung sebelumnya; bahwa kaum musyrikin dahulu telah mengakui tauhid rububiyah -demikian juga manusia yang masih lurus fitrahnya- meskipun demikian hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam lingkaran Islam.
Meskipun demikian, jangan pula dipahami bahwa tauhid rububiyah atau tauhid asma’ wa shifat bukan masalah pokok. Bahkan kedua macam tauhid ini adalah masalah yang sangat penting dan utama. Karena pada hakikatnya mengingkari tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat adalah tergolong tindak kekafiran yang bisa menyeret pelakunya keluar dari agama Islam. Sebagaimana sudah kita singgung tentang kafirnya orang yang mengingkari takdir dan orang yang meyakini al-Qur’an adalah makhluk.
Setelah itu, perlu juga kita pahami di dalam sejarah umat Islam, penyimpangan yang terjadi dalam masalah tauhid ini pun beraneka ragam. Terkadang di suatu masa syirik dalam hal sebagian perkara rububiyah begitu menggejala, walaupun ini bisa dikatakan jarang muncul. Terkadang di masa yang lain, syirik dalam uluhiyah yang lebih dominan, dan inilah yang lebih sering muncul. Dan terkadang, syirik dalam hal sebagian masalah asma’ wa shifat pun muncul secara besar-besaran karena faktor kekuasaan.
Oleh karena itu kita dapati perhatian para ulama dalam masalah tauhid pun beraneka ragam, terbukti dari buku-buku yang mereka tulis yang tidak hanya terfokus dalam masalah tauhid uluhiyah, sebagaimana para ulama yang membantah sekte Jahmiyah dsb. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa seorang da’i harus senantiasa memperhatikan kondisi keberagamaan masyarakatnya; masalah apakah yang merebak dan lebih utama untuk diatasi diantara sekian banyak masalah yang ada. Dalam hal ini, kita telah melihat contoh dan teladan yang sangat elok dari para ulama kita.
Dan apabila kita cermati lebih dalam tentang berbagai fenomena syirik di tengah umat ini, kita dapati bahwa syirik dalam hal uluhiyah pun biasanya juga diembel-embeli syirik dalam hal rububiyah atau asma’ wa shifat. Sebagaimana diterangkan oleh para ulama kita, bahwa bila kaum musyrikin masa lalu terjerumus dalam syirik hanya dalam uluhiyah, maka keadaan kaum musyrikin masa kini justru lebih parah, karena syirik mereka juga merembet dalam hal rububiyah.
Begitu pula dalam kasus perdukunan dan paranormal, kita dapati bahwa keyakinan orang-orang yang menempuh ritual syirik dalam hal uluhiyah ini pun erat dengan syirik dalam hal sifat-sifat Allah; misalnya mereka meyakini bahwa ada selain Allah yang mengetahui perkara gaib, dsb. Begitu pula dalam kasus para pemuja kuburan yang berdoa kepada wali yang sudah mati; di dalam syirik uluhiyah mereka ini pun terkandung syirik dalam hal sifat dan rububiyah Allah; yaitu mereka mengira bahwa orang yang mati bisa mendengar dan mengabulkan doa mereka.
Demikian, kurang lebih sekilas faidah dalam masalah tauhid dan pembagiannya yang kami ingat dan kami kembangkan dari penjelasan al-Ustadz Abu ‘Isa Abdullah bin Sallam hafizhahullah beberapa waktu yang silam dalam sebagian kesempatan ceramah beliau, dengan beberapa tambahan keterangan. Silahkan bagi rekan-rekan yang ingin memberikan tambahan faidah dan referensi, kami sangat berterima kasih.
Semoga bermanfaat bagi kita semua.
—